Sebelum jatuh ke dalam dosa, kehidupan Adam dan Hawa sangat sempurna serta berbahagia karena
disertai pengertian akan kehendak Allah sekaligus pelaksanaannya. Mereka memiliki persekutuan yang intim dengan-Nya.
Tapi kehidupan tersebut harus diakhiri dengan sangat mengenaskan. Mereka diusir dari taman Eden (Kej3:23). Alkitab mencatat, “Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan.” (Kej 3:24)
Sejak saat itu mulai timbul konflik dan problem hidup karena di luar taman Eden, mereka terbuka terhadap interpretasi bebas yang dibangun untuk mencari serta menikmati kembali relasi seperti sebelumnya. Dalam taman terdapat pimpinan Tuhan sehingga mereka mengerti dengan jelas. Namun dalam kehidupan berdosa, segala kemungkinan dapat terjadi.
Di masa pasca kejatuhan, mereka bukan jadi tertutup dan tak peduli terhadap-Nya melainkan terus mencari hadirat dan kehendak-Nya, beribadah serta berseru dengan harapan kiranya Allah mau berbelas kasih.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa walaupun rusak total, manusia tak mampu menghilangkan peta dan teladan-Nya dalam diri. Itulah yang menyebabkan adanya kerinduan untuk bersekutu dengan-Nya. Tiaporang dalam sifat keberagamaan maupun para Atheis pasti memilikinya. Dalam hati sebenarnya terdapatteriakan yang takkan terjawab atau tiba di perhentian sejati kecuali kembali kepadaNya. Tapi sekarangsuasana sangat berbeda. Mereka harus berusaha mencari cara mendekatiNya tanpa guidance Tuhan.
Pergumulan ini terus diperjuangkan sepanjang abad.
Pada mulanya dialami oleh generasi kedua yaitu Kain dan Habel. Mereka berjuang mencari yang berkenankepada-Nya dengan teliti walaupun sangat sulit supaya tak salah langkah. Jikalau Allah tak memberitahu,mereka takkan mendapat perkenanan-Nya saat memberi persembahan. Sebaliknya semua upaya malah membangkitkan murka-Nya. Namun di antara kakak adik tersebut terdapat lima perbedaan dalam perjuangan mendekati Tuhan:
Pertama, kedua pribadi tersebut berbeda. Kain ialah anak pertama yang dilahirkan oleh Hawa. Kemudianlahirlah Habel. Walaupun orangtua sama, mereka bertumbuh dalam dua karakter unik dan sangat berbeda.
Kain menjadi petani sedangkan Habel jadi gembala. Tak ada kesalahan dalam kelahiran mereka karena memang berdasarkan ketetapan-Nya.
Di Perjanjian Lama, nama menunjukkan karakter sekaligus corak hidup. Kain berarti “Aku mampu
mencukupkan diri sendiri”. Selain itu juga berarti “kekuatan” dan “Aku berhak mendapat tempat pertama atau prioritas utama”. Sedangkan Habel berarti “nothingness (ketiadaan atau kehampaan)”. Tafsiran lain mengartikannya “kerapuhan”. Maka Kain berusaha jadi yang terpenting sedangkan Habel mengikutinya di belakang. Mereka menjadi dua cerminan hidup berbeda. Perbedaan tersebut akan terus mendasari perbedaan selanjutnya.
Kedua, perspektif (cara pandang) hidup mereka berbeda. Di Kej 4 tercatat bahwa problem mulai muncul ketikaKain merasa Allah tak mengindahkan persembahannya sedangkan kepunyaan Habel diterima-Nya. Ternyata Ia lebih mengasihi dan memperhatikan Habel. Fakta tersebut cukup mengejutkan karena tampaknya tak adil. Secara manusia, Kain berhak mengajukan banyak alasan untuk menyatakan diri tak bersalah. Jikalau tuhan mereka beda, perlakuan tersebut masih dapat dimengerti. Tapi kenyataannya, mereka menyembah hanya Allah Yahwe, seperti yang diajarkan oleh Adam dan Hawa. Memang saat itu Ia belum memperkenalkan namaNya tapi pengajaran orangtua mereka pasti takkan salah. Maka mereka mengambil sebagian dari hasil pekerjaan untuk dipersembahkan kepada-Nya. Namun Ia memandangnya dengan cara yang sangat beda.
Banyak problem dan fenomena dalam dinamika hidup menunjukkan ketidakadilan, penindasan, teror dan kecelakaan. Maka filsafat yang mengatakan, “Life is unfair” diterima oleh banyak orang. Walaupun sulit tapi harus dimengerti bahwa Allah berhak menjalankan segala tindakan berdasarkan keinginan-Nya. Tak seorang pun, termasuk orang Kristen, berhak atas Diri Tuhan atau complain kepada-Nya karena Ia tak pernah berhutang. Banyak orang tak sanggup menerima pernyataan tersebut.
Pergumulan tersebut juga dialami oleh para penulis Alkitab karena menyaksikan bahwa kenyataan tak sesuai kehendak-Nya. Contoh, Asaf dalam Mzm 73 mengatakan bahwa mereka yang tak mengikuti jalan-Nya tampak lancar tanpa hambatan dan sangat bersukacita karena segala keinginan tercapai. Sebaliknya, mereka yang sungguh ikut Tuhan malah mengalami banyak kesulitan. Semua itu riil. Kemudian Allah menunjukkan kebenaran sejati yang belum diketahuinya. Maka ia bersaksi, “Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku, sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka. Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.” (ayat 16-18) Banyak jawaban tak memuaskan karena tak tuntas tapi harus diingat bahwa Ia pasti tak salah ketika mengijinkan sesuatu terjadi.
Ketiga, motivasi ibadah mereka beda. Habel mempersembahkan korban sembelihan sedangkan Kain hasil pertanian sebagai tanda syukur kepada-Nya. Tapi Allah menolak kepunyaan Kain bukan karena salah materi. Ibr 11:4 menyimpulkan, persembahan Habel disertai iman sedangkan Kain tidak. Habel juga mendengarkan, mempelajari dan menangkap inti ajaran orangtuanya yang pernah memiliki pengalaman berkesan sekaligus sangat menyakitkan.
Ketika masih di taman Eden, Adam dan Hawa berusaha memperbaiki relasi dengan Tuhan. Caranya,
mengumpulkan daun lalu disemat jadi cawat untuk menunjukkan bahwa mereka terlanjur berdosa besar.
Ketika melihatnya, Allah membuat pakaian dari kulit binatang dan mengenakannya pada mereka sebagai tanda belas kasihan. Pengalaman tersebut tak terlupakan. Berarti, harus ada binatang disembelih. Inilah model persembahan yang ditetapkan-Nya sejak semula. Maka pertumpahan darah pertama bukan ketika Kain membunuh Habel.
Saat memberi persembahan, Kain berpikir, “aku hendak mempersembahkan yang terbaik menurut
anggapanku dari segala milik kepunyaanku kepada Allah.” Yang lain tak dipedulikannya dan Tuhan harus berkenan. Padahal Ia tak pernah menuntut melainkan menyediakan kesempatan. Tapi motivasi Kain memang hanya demi selfsatisfaction.
Jemaat mungkin memiliki hidup beragama sangat saleh. Ia juga dapat memberi persembahan atau aktif pelayanan. Semua itu merupakan persembahan hidup bagi Tuhan. Tapi Ia tak sekedar memandang pemberian bahkan yang terbaik sekalipun melainkan cara membawa persembahan ke hadapan-Nya.
Tak semua orang boleh datang kepada-Nya. Imam besar pun memiliki aturan khusus untuk masuk ke ruang Maha Kudus, misalnya hanya sekali dalam satu tahun. Ia juga harus mempersembahkan korban
penghapusan dosanya sendiri sebelum melakukannya bagi Israel. Ketia mereka mengeluh karena
perbudakan, Allah hanya berkenan menjumpai Musa di gunung Horeb. Di Yes 1:13 Ia menghardik mereka, “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku.”
Keempat, model persembahan mereka berbeda. Sebenarnya tak ada alasan bagi Kain untuk tak
mempersembahkan korban bakaran berupa anak binatang sembelihan. Padahal Allah telah memberitahu melalui orangtuanya. Tapi bukan berarti bidang pertanian merupakan kutuk. Sedangkan persembahan Habel bukan karena profesinya. Ia berhasil menangkap essensi persembahan. Ia juga beriman bahwa jikalau Allah tak memberi jalan maka ia tak mungkin dapat datang kepada-Nya. Sebaliknya malah tersesat.
Di Perjanjian Baru mulai dimengerti bahwa persembahan mengacu kepada Kristus. Alkitab telah membuka semua rahasia. Kej 3:15 mencatat, Allah berfirman pada Adam dan Hawa bahwa keturunan mereka akan meremukkan kepala ular sedangkan ular meremukkan tumit. Tapi mereka tak mengerti kalau penggenapannya dalam Diri Kristus.
Tuhan memberi perumpamaan tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai. Orang Farisi datang dengan keangkuhan akan hidup rohaninya (Luk 18:11-12). Sebaliknya, pemungut cukai mengatakan, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (ayat 13). Doa semacam inilah yang didengar-Nya.
Terlibat dalam banyak pelayanan dapat menimbulkan kemungkinan terjebak ke dalam pengalaman seperti Kain. The Spirit of Kain mungkin masih mempengaruhi hidup ibadah orang Kristen hingga tak lagi berpaut kepada-Nya.
Kelima, dua macam persembahan tersebut menghasilkan reaksi berbeda. Alkitab tak mencatat dengan jelas cara Allah menolak persembahan Kain. Tapi ada yang mengatakan tandanya terlihat dari asap.
Persembahan Habel mengeluarkan asap lurus naik ke atas.
Padahal Kej 4:6 hanya mencatat perkataan Allah pada Kain, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” Itulah tanda ia bersalah karena marah kepada-Nya walaupun tak berani langsung mengungkapkan. Maka sasaran amarah pindah pada adiknya.
Kej 4:8 mencatat, ia mengajak Habel ke padang. Setibanya di sana, ia membunuh adiknya. Dosa akan terus beranak turun temurun. Memang Habel mati secara fisik. Tapi Kej 4:10 mencatat, “Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah.”
Habel sangat mengerti kehendak Allah maka mempersembahkan lemak anak sulung kambing dombanya.
Im 3:16 mencatat, “Segala lemak adalah kepunyaan Tuhan.” Lalu ayat 17 mencatat bahwa tak seorang pun boleh memakannya. Ketika dibakar jadi wewangian kepada-Nya.
Kemudian Allah bertanya pada Kain, “Di mana Habel, adikmu itu?” (Kej 4:9) Pertanyaan tersebut mirip dengan yang diajukanNya pada Adam dan Hawa ketika pertama kali jatuh ke dalam dosa, “Di manakah engkau?” (Kej 3:9) Bukan berarti Ia tak tahu tapi menuntut pertanggungjawaban, “Apakah yang telah kau perbuat ini?” (Kej 4:10) Lalu Kain bertingkah innocent, “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Ia telah membohongi Tuhan.
Allah pasti menjaga wibawa, kemuliaan dan keagungan-Nya. Di satu pihak, Ia mengijinkan orang Kristen menjumpai-Nya tapi harus dengan gentar. Inilah tanda pertumbuhan rohani.